Setiap orang memiliki rahasia dan hal-hal yang tak
ingin diketahui oleh orang lain, hanya dia dan Tuhan yang tahu. Begitu pun aku,
banyak hal yang tak bisa ku ungkapkan pada orang lain, hanya aku yang tahu.
Sampai saat ini pun aku percaya bahwa tak ada orang yang dapat ku percaya.
Setidaknya tak ada, sebelum Dia melangkah perlahan dalam duniaku.
Aku berbaring di sini, di tengah padang rumput dekat
sekolah SMA ku dulu, di temani Mp4 dan earphone
ku yang sedang memperdengarkan lagu Evanescence,
Before the dawn. Aku menggumamkan lirik lagu itu, aku begitu menghayatinya.
Pikiranku seakan ditarik kembali menuju 5 tahun yang lalu
Aku memakai seragam abu-abu putih. Aku bergegas karna
waktu sudah menujukkan pukul 06:25. Terdengar suara klakson motor di depan
rumahku.
“Ri, buruan! Kita udah mau telat nih,” teriak Dian
“Iya, iya bentar udah siap kok,” teriakku.
“Jangan lupa bawa PR Bahasa Inggris, Aku belum
ngerjain,” teriaknya lagi.
“Iya, nih udah tak bawa nih, udah yuk berangkat,”
ujarku seraya menghampirinya.
Dian selalu menjemputku saat sekolah karena rumah kita
yang jaraknya berdekatan, mungkin sekitar 2 Km dan arah rumahku memang searah
dengan SMA kita, dan kita satu kelas sejak kelas 1 SMA.
Dian itu unreasonable, aneh tapi baik banget, terutama
sama orang-orang yang udah dekat sama dia.
Ponsel ku berdering, ternyata Dian yang menelponku.
“Halo”
“Halo, Ri anterin potong rambut ya, ni aku udah
siap-siap mau berangkat ke rumahmu.”
“Ha?”
“Sekarang?”
“Malem-malem
gini?” tegasku.
“Iya, ya udah ya, 5 menit lagi aku nyampe. Buruan
siap-siap!”
“Ha.. ha… halo… halo… Di…”
“Ih… dasar nyebelin!”
15 menit kemudian Dian baru sampai di rumahku. Padahal
Aku sudah siap sejak 10 menit yang lalu.
“He he, Ri, udah siap ya?”
“Menurut Lo?”
“iya, maaf deh, tadi motornya masih dipake ma Ayah.”
“Ya ya ya, alasan aja de Kamu tu, udah yuk berangkat
deh.”
Seandainya rasa suka bisa aku kontrol, aku akan lebih
memilih untuk tak merasakannya saat ini. Apa lagi cuma menyukai satu orang
untuk waktu yang cukup lama dan memilih untuk tak mengatakannya.
“Kenapa harus Vero?”
“Apa gak ada orang lain?”
Vero,
aku sudah mengenalnya sejak 7 tahun yang lalu. Hampir semua hal tentang dia aku
tahu, makanan favorit, kebiasaannya, musik favoritnya, hobinya, segalanya. Dia
begitu menarik dan pekerja keras, banyak yang tertarik dengannya, termasuk Aku.
Tapi aku tak pernah sekalipun mengatakan padanya. dan sampai saat ini pun aku
tetap diam.
Aku
akan sangat senang saat guru memutuskan untuk membagi kelompok dan kebetulan
aku ada dalam satu kelompok dengannya, seperti saat pelajaran bahasa inggris
setelah jam istirahat ini berakhir. Benar-benar tak sabar menunggu jam
pelajaran Bahasa Inggris ini.
“Ri…
Ri sini buruan!” teriak Dian dari dalam kelas.
“Apa
sih Di, kayak orang gila tau teriak-teriak kayak gitu.”
“Lo tau gak? Vero dikeluarin dari sekolah. Sekarang
Dia lagi di ruang Kepala Sekolah. Tadi Gue gak sengaja denger obrolannya
guru-guru pas Gue pipis di toilet Guru”
“Wha…
What? Maksudnya? Eh.. emang kenapa?”
Ya,
begitulah. Dian bilang kemaren ada satu keluarga datang ke rumah Vero, ternyata
itu keluarga pacarnya Vero, dan mereka minta Vero bertanggung jawab atas
kehamilan anak mereka. Dian adalah tetangga depan rumah Vero, jadi tak heran
dia tahu kejadian di rumah Vero. Aku benar-benar tak percaya atas apa yang
dikatakan Dian. Memang selama ini Vero terkenal agak nakal, tapi aku
benar-benar tak menyangka akan sejauh itu.
Vero
tak pernah kembali ke sekolah lagi sejak hari itu. Padahal semangatku berangkat
sekolah salah satunya untuk bertemu dia, apalagi saat menjadi satu kelompok
dengannya. Ya walaupun kami cuma teman satu kelas dan tidak terlalu akrab, tapi
itu cukup buatku.
Hidupku
harus terus berjalan, meskipun tanpa Vero, aku harus merelakan dia pergi dan
belajar melupakannya. Dia memang bukan milikku dan tak pernah jadi milikku. Dian
yang mengetahui perasaanku pada Vero selalu berusaha menghiburku dan selalu
menemaniku.
Akhirnya
hari ini tiba, hari kelulusan ku. Aku datang telat, Dian memandangiku dari
kejauhan, tak seperti biasanya Dia akan segera berteriak dan menghampiriku. Ku
pikir mungkin karena dia sedang sibuk mengambil foto bersama teman-teman dan
para Guru, dasar narsis!!!
Tiba-tiba
lamunanku tentang masa abu-abu putihku terbuyarkan oleh kehadiran lelaki tampan
di depanku. Aku bergegas bangun dan berdiri. Dia mengatakan sesuatu padaku,
tapi aku tak bisa mendengarkan perkataannya dengan jelas.
“Hai…
ir on, ir on” ucapnya sambil menunjuk ke arah telinga.
“Ha?
Apa? Telinga, oh earphone?”
Aku
segera melepaskan earphone ku dan
masih tetap terpesona dengan ketampanan laki-laki di depanku. Dia tampak sebaya
denganku, ah, tidak, Dia sedikit lebih muda dariku, dan sepertinya dia tak
asing bagiku. Tapi siapa Dia?
“Masih
ingat aku?” udah lama kita gak ketemu ya,” kenangnya.
“Em,
eh Kamu… kamu si…”
“Oh
ya Kak, nih Aku disuruh Kakakku buat kasih ini.”
“Kakak?
Ini apa?”
Aku
membuka box yang diberikan laki-laki
di depanku, aku belum bisa mengingat secara jelas dia itu siapa. Dan, isi box itu menegaskan padaku siapa dia
sebenarnya.
Aku
mengambil kotak musik berbentuk bola kristal itu, di dalam bola kristal itu,
ada dua boneka kodok, di bagian dada tertulis “R” dan “D” di dada boneka yang
lain.
Aku memainkannya dan dia mulai mengeluarkan bunyi
indah kesukaanku, tapi kali ini ada yang berbeda, bukan lagu Fur Elise yang dihasilkannya, bukan! Tapi
nada itu, aku tahu nada itu, ya aku ingat, lagu itu, salah satu lagu favoritku
juga. Touch my heart yang dinyanyikan
oleh Film Rattapoom, penyanyi
Thailand favoritku. Dan… apa ini? sebuah tulisan terukir di bagian bawah kotak
musik ini.
Did you ever fall in love
but can only keep
it in Your heart?
But now, I want
You to do something.
Touch my heart…
You’ll know
that I LOVE YOU
More than
anyone else…
Adian Permana…
Aku termenung dan sungguh tak menyangka. aku membaca
kalimat itu berulang-ulang. Dan sekali lagi, laki-laki di depanku yang akhirnya
sudah ku kenali itu tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
“Kak,
hoe… Kak…”
“eh…
em…i.. iya”
“Jangan
nglamun aja.”
“Dian,
Dimana Dia sekarang?”
“Kakak
ada di lapangan basket sekolah.”
Aku
segera berlari menuju ke lapangan basket.
Dan…
Aku menemukannya, nafasku masih terengah-engah. Dia
berbalik, menatapku dan tersenyum padaku. Dia mendekat padaku, Aku belum bisa berkata
apa-apa. Saat dia benar-benar ada di depanku, aku memasangkan earphone ku ke telinganya dan ku play lagu Evanescence-Bring me to life.
How can you see
into my eyes, like open door
Leading you
down into my core, where I’ve become so numb
Without a soul,
my spirit sleeping somewhere cold
Until you find
it there and lead it back home
Wake me up
inside
Call my name and
save me from the dark…
Dia
melepas earphone ku dan
mengalungkannya padaku.
“Amy
Lee, tak bahagia dengan kehidupan percintaannya, kemudian bertemu seseorang
yang menasehatinya untuk tak selalu menutupi perasaannya, keluar dari
keterpurukannya dan hidup lebih bahagia. Lalu dia teringat akan teman lamanya, Josh Hartzler dan
menciptakan lagu ini. Dan pada akhirnya Josh melamar Amy dan mereka menikah.
Jadi apakah lagu ini adalah sebuah jawaban untukku?”
Aku
benar-benar tak bisa berkata apa-apa, mungkin karena aku terlalu
terengah-engah, tapi mungkin juga karena aku bingung harus berkata apa. Dan satu-satunya
kalimat yang keluar dari mulutku hanyalah…
“Ya,
Darling. Bring me to life!”
“Ri, I’ve loved you from the very first time we met,
from now on, and I’ll love you forever more. I’ll bring you to life again”
Aku hanya bisa menangis dalam peluknya.
Dia lah yang aku cari selama ini…
Dialah lagu yang ku gumamkan dalam setiap lamunanku, tingkah
yang selalu mengembangkan senyumku, suara yang memompa semangatku, wajah yang
muncul dalam setiap pejaman mataku. Before
the dawn, lambang kesuraman hatiku akhirnya di sinari sentuhan hati yang
membawaku hidup kembali.
Terkadang kita mencari terlalu jauh, hingga tak
menyadari sebenarnya yang kita cari ada di sekeliling kita. Dan terkadang kita
terlalu takut untuk mengungkapkan sebuah kebenaran dan menyimpannya sendiri. Jadi
ungkapkanlah sekarang juga, don’t waste your precious time anymore!
*^--^*